Investasi

The Overvaluation Trap

Image by Ryan Inzana

“Tik tik tik tik” suara jam dinding berbunyi setiap detik terdengar dengan jelas di ruang kamar kerja yang seluas 4 x 4 meter. Anton sebutlah dia seorang pegawai swasta yang karena pandemi ini menjadikan dia harus bekerja dari rumah atau orang sering sebut dengan bahasa kerennya Work from home. Anton tidak kekurangan dalam sisi finansial. Dia memiliki rumah, tabungan, deposito, dan instrumen investasi lainnya yang terbilang cukup aman dengan return pasti setiap tahunnya. Hal yang membuat dia gusar adalah melihat teman-temannya berhasil mendapatkan return ratusan persen kurang dari 1 tahun dari berinvestasi di pasar saham. Anton tertarik dan mencoba mendengarkan dari temannya bahwa ada sebuah saham yang memiliki prospek sangat bagus kedepannya. Sedangkan kondisi saham ini sudah naik hingga ratusan persen dalam waktu kurang dari 1 bulan 

Anton yang hanya pegawai biasa di sebuah perusahaan swasta menjadi sangat tertarik dengan berinvestasi di saham yang disebutkan oleh temannya. Melihat kondisi nyata bahwa temannya yang sudah untung ratusan persen secara historis membuat Anton menjadi percaya saham ini akan sangat bagus sekali kedepannya. Sehingga dia berfikir dalam benaknya, “Kenapa saya juga tidak bisa untuk untung ratusan persen dengan berinvestasi di saham ini seperti teman saya? What could possibly go wrong right? Semua orang membeli ini, pasti 1 bulan lagi naik setidaknya 100%”. Akhirnya Anton pun membeli saham tersebut dan kita semua tahu mayoritas akhir dari cerita ketika seseorang membeli saham yang sudah naik sangat tinggi akan berakhir seperti apa.

Apa itu Overvaluation Trap?

Fenomena saham naik hingga ratusan persen dalam waktu kurang dari 1 tahun tentu membuat banyak orang jadi tertarik untuk bisa dapat merasakan keuntungan fantastis dalam waktu cepat. Kondisi kenaikan saham yang sangat tinggi ini tanpa diikuti oleh nilai dari perusahaan mengakibatkan kondisi yang disebut dengan overvalue.

Sedangkan overvaluation bisa diartikan sebagai kondisi ketika harga sebuah saham perusahaan tidak diimbangi dengan performa perusahaan yang diekspektasikan oleh para pemegang saham. Mari ambil contoh kasus seperti berikut ini.

Pada salah satu perusahaan terbuka di Indonesia, kita gunakan saham dengan kode KAEF. KAEF pada 30 Desember 2020 dihargai Rp. 4250/lembar saham dengan jumlah saham beredar sebanyak 5,5 miliar lembar saham. Sehingga kapitalisasi pasar sebesar Rp. 23,6 Triliun sedangkan cost of equity perusahaan adalah sebesar 4%. Hal ini membuat pemegang saham berekspektasi KAEF dapat menghasilkan keuntungan bagi mereka pada tahun 2020 sebesar Rp. 975 milliar. Hal ini didapatkan dari 4% dikalikan dengan Rp. 23,6 Triliun. Kenyataannya pada saat laporan keuangan tahunan 2020 dikeluarkan, KAEF hanya mampu menghasilkan laba sebesar Rp. 17 Miliar saja. Tentu ekpektasi yang tidak sesuai dengan kenyataan ini menyebabkan konsekuensi yang cukup berat bagi pemegang saham. Pada akhirnya saham KAEF mengalami penurunan 58% dari titik tertingginya tanggal 15 Januari 2021 hingga pada artikel ini dibuat pada tanggal 18 Juni 2021.

Pada akhirnya ketika sebuah saham menjadi sangat terlalu mahal dan naik terlalu tinggi, realita kinerja perusahaan untuk mencetak laba bagi pemegang saham yang tidak sesuai dengan ekpektasi akan menyebabkan penurunan dari harga saham itu sendiri. Sehingga overvaluation trap itu bisa menjadi sebuah jebakan karena ketika faktor pendorong seperti berita vaksin dan berita lainnya yang bisa menaikkan harga saham ke level tinggi selanjutnya habis maka penurunan harga saham akan menanti di depan mata.

Apakah Overvalution Trap Hanya Merugikan Investor?

Tentu tidak, salah satu pihak yang merasakan dirugikan sebetulnya adalah pengelola perusahaan. Why? karena ketika kapitalisasi pasar semakin tinggi maka ekspektasi laba yang diharapkan investor akan semakin tinggi. Hal ini menyebabkan manajemen perusahaan akan berfikir dengan keras bagaimana untuk tetap bisa mengejar ekspektasi laba dengan berbagai cara. Pada akhirnya dalam jangka panjang manajemen akan kehabisan cara yang baik untuk bisa terus meningkatkan keuntungan dan akan terjebak pada langkah yang kurang bijak. Kita ambil contoh pada kasus Citigroup.

Citigroup mengalami kondisi overvaluation yang tidak bisa dipertahankan lagi dikarenakan ekpektasi pasar yang sangat tinggi untuk laba yang bisa dihasilkan oleh perusahaan, sehingga Citigroup pada saat itu dibawah CEO Chuck Prince mengambil sebuah langkah yang beresiko dengan berinvestasi secara agresif pada subprime mortgage dan produk derivatif. Kedua instrumen ini adalah instrumen yang beresiko tinggi dan kedua instrumen ini salah satu yang menyebabkan krisis 2008 krisis finansial global terjadi.

Bagaimana Cara Menghindari Overvaluation Trap?

Cara untuk menghindari saham yang overvalue bisa dengan menggunakan pendekatan fundamental untuk mencari nilai dari perusahaan. Membeli sebuah perusahaan ketika dibawah nilai intrinsiknya bisa mengurangi resiko untuk membeli saham yang sudah overvalue. Membaca laporan keuangan perusahaan untuk memahami kinerja perusahaan adalah salah satu cara untuk investor agar tidak secara buta membeli sebuah saham. Tetap rasional dan bijak dalam membuat keputusan, berinvestasilah karena yakin akan pilihan saham tersebut dari hasil analisa pribadi bukan hasil dari ajakan orang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *